Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo (lahir di
Karawang, Jawa Barat, 23 Maret 1896 – meninggal 15 Desember 1978 pada umur 82
tahun) adalah tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia, diplomat, dan seorang
Pahlawan Nasional Indonesia. Ia adalah Menteri Luar Negeri Indonesia yang
pertama. Achmad Soebardjo memiliki gelar Meester in de Rechten, yang diperoleh
di Universitas Leiden Belanda pada tahun 1933.
Awal mula
Achmad Soebardjo dilahirkan di Teluk Jambe, Karawang, Jawa Barat, tanggal 23
Maret 1896. Ayahnya bernama Teuku Muhammad Yusuf, masih keturunan
bangsawan Aceh dari Pidie. Kakek Ahmad Soebardjo dari pihak ayah adalah ulama
di wilayah tersebut, sedangkan Teuku Yusuf adalah pegawai pemerintahan dengan
jabatan Mantri Polisi di wilayah Teluk Jambe, Kerawang. Ibu Ahmad
Soebardjo bernama Wardinah. Ia keturunan Jawa-Bugis, dan merupakan
anak dari Camat di Telukagung, Cirebon.
Ayahnya mulanya memberinya nama Teuku Abdul Manaf, sedangkan ibunya memberinya
nama Ahmad Subardjo. Nama Djojoadisoerjo ditambahkannya sendiri setelah dewasa,
saat ia ditahan di penjara Ponorogo karena "Peristiwa 3 Juli 1946".
Ia bersekolah di Hogere Burger School, Jakarta (saat ini setara dengan Sekolah
Menengah Atas) pada tahun 1917. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di
Universitas Leiden, Belanda dan memperoleh ijazah Meester in de Rechten (saat
ini setara dengan Sarjana Hukum) di bidang undang-undang pada tahun 1933.
Riwayat perjuangan
,Sebardjo merupakan profesor dalam bidang Sejarah Perlembagaan dan Diplomasi
Republik Indonesia di Fakultas Kesusasteraan, Universitas Indonesia. Semasa
masih menjadi mahasiswa, Soebardjo aktif dalam memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia melalui beberapa organisasi seperti Jong Jawa dan Persatuan Mahasiswa
Indonesia di Belanda. Pada bulan Februari 1927, ia pun menjadi wakil Indonesia
bersama dengan Mohammad Hatta dan para ahli gerakan-gerakan Indonesia pada
persidangan antarbangsa "Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan
Penjajah" yang pertama di Brussels dan kemudiannya di Jerman. Pada
persidangan pertama itu juga ada Jawaharlal Nehru dan pemimpin-pemimpin
nasionalis yang terkenal dari Asia dan Afrika. Sewaktu kembalinya
ke Indonesia, ia aktif menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI).
Dan pada tanggal 17 Agustus 1945, Soebardjo dilantik sebagai Menteri Luar
Negeri pada Kabinet Presidensial, kabinet Indonesia yang pertama, dan kembali
menjabat menjadi Menteri Luar Negeri sekali lagi pada tahun 1951 - 1952. Selain
itu, ia juga menjadi Duta Besar Republik Indonesia di Switzerland antara
tahun-tahun 1957 - 1961.
Dalam bidang pendidikan
Anggota Kongres Anti Imperialisme 1927.
Pada bulan Februari tahun 1927 di Brussel diadakan Kongres Anti Imperialisme.
Tindakan pemerintah kolonial terhadap aksi-aksi pembebasan sudah dianggap oleh
masyarakat Anti Imperialisme dunia telah melebihi batas kemanusiaan dan
keadilan. Kongres ini membahas bagaimana cara melawan kekuatan imperial dan
kolonialisme. Pada bulan itu telah tiba di Brussel utusan dari 21 negara dari
Asia, Afrika, Eropa dan Amerika. Para utusan mewakili pelbagai organisasi
politik, ekonomi, buruh. Kongres ini berlangsung selama lima hari dari tanggal
5-10 Februari 1927. Dari daerah jajahan Inggris lahir Jawaharlal Nehru (India),
Nafez Ramadan Bey (Mesir), Mashur Baqaf Sakri (Syria) dari jajahan Perancis
hadir Chodli Ben Mustafa. Dari Hindia-Belanda mengurusi lima orang yaitu
Muhammad Hatta (Ketua) dan empat orang anggotanya itu Semaun (tokoh PKI), Galat
Tarunamihardja, Muhammad Nazir Datuk Paniontjak dan Ahmad Soebardjo dari
Perhimpunan Indonesia. Hasil pokok dari kongres ini terbentuknya League Againts
Imperialism and For National Independence (Liga Anti Imperialisme untuk
Kemerdekaan Nasional) Kongres juga membentuk sekretariat tetap yang
berkedudukan di Berlin. Pemerintah Belanda sangat tidak menyukai terlibatnya
mahasiswa Indonesia di negeri Belanda dalam gerakan ini. Dengan sigapnya polisi
Belanda menangkap ketua P.I. Mohammad Hatta dan tiga orang lainnya, Muhammad
Nazir Datuk Pamontjak, Ali Satroamidjojo, Abdul Madjid Djojoadiningrat ditahan
untuk diadili. Ahmad dan Arnold Mononutu terhindar dari penangkapan karena
berada diluar negeri Belanda, Ia tengah melakukan muhibah Rusia dan Perancis.
Kembali ke Tanah Air.
Setelah tujuh tahun belajar dan berjuang dalam organisasi P.I. di negeri
Belanda, pada bulan April 1934 kembali ke tanah air. Pekerjaan apakah yang
dipilih oleh Soebardjo setelah menamatkan studie hukum. Sebagai seorang yang
pernah sebagai aktivitas Perhimpunan Indonesia (P.I.) hati nuraninya menolak
bekerja pada pemerintah Hindia-Belanda, padahal lowongan untuk jabatan di
pemerintahan sangat terbuka bagi seseorang yang berpendidikan tinggi. Akhirnya
ia memilih bekerja swasta di Kantor Bantuan Hukum Mr. Sastro Muljono, seniornya
di Semarang, banyak juga mantan anggota P.I. yang bekerja di pemerintahan,
antara lain Dr. Buntaran Martoatmodjo dan Dr. Akhmad Mochtar dari Semarang
Soebardjo pindah ke Surabaya juga dikantor Bantuan Hukum Mr. Iskaq (Tjokro
Hadisoerjo). Pada tahun tiga puluhan itu Soebardjo menyaksikan surutnya
perjuangan pergerakan nasional. Para tokohnya, Ir. Soekarno, Sartono, Muhammad
Hatta saling berbeda pendapat mengenai strategi perjuangan sekalipun mereka
mempunyai dasar yang sama: Non Kooperasi.
Partai Nasional Indonesia pecah menjadi tiga kelompok, kelompok pertama ingin
tetap berjuang secara bawah tanah, yang mayoritas mantan anggota Serikat Rakyat
dan PRI. Kelompok kedua dibawah pimpinan Mr. Sartono yang menekankan perjuangan
melalui organisasi politik (dalam bentuk partai) adalah lebih efektif, mereka
kemudian membangun Partai Indonesia (Partindo) yang moderat. Kelompok ketiga
mendirikan partai baru Pendidikan Nasional Indonesia yang di mentori oleh
Muhammad Hatta dan Sutan Sjahrir, Soebardjo datang menemui mereka secara
pribadi, Ia menemui Soekarno, mendekati Sartono dan juga menemui Hatta.
Pergerakan nasional lumpuh akibat dari kebijakan politik Gubernur Jenderal P.C.
De Jonghe. Oleh karena itu Soebardjo bersikap wait and see tidak masuk kelompok
manapun, namun pemerintah Hindia-Belanda tetap mencurigainya sebagai orang
komunis. Ia merasa setiap gerak langkahnya diamati oleh Politicks Inlichtingen
Drenst (P.I.D.) atau Dinas Penyelidik Politik dari Kepolisian Hindia Belanda.
Peristiwa perintah meninggalkan Banjarmasin dari Asisten Residen, ketika ia
membela perkara pembunuhan membenarkan dugaannya.
Pada tahun 1935 Soebardjo meninggalkan kantor
pengacara Mr. Iskaq, pindah ke Malang mendirikan kantor pengacara sendiri dan
menjauhkan diri dari aktivitas politik. Kantor Pengacara Soebardjo di Malang
tidak sukses, karena kalah bersaing dengan kantor-kantor Pengacara yang dibuka
lebih dulu. Soebardjo jatuh sakit dirawat di Rumah Sakit Soekoen. Belum pulih
benar dari sakitnya Soebardjo menerima surat dari Mr. Soedjono yang tinggal di
Tokyo, Soedjono meminta agar Soebardjo berkunjung ke Jepang karena berbagai
tekanan keadaan, Soebardjo yang merasa terjepit, surat Soedjono dianggap
sebagai berkah, untuk bisa melepaskan diri dari stress, tekanan keadaan dan
kejiwaan. Harapannya adalah untuk memperoleh ongkos hidup yang layak di negara
asing itu, namun kendalanya ia tidak mempunyai simpanan yang cukup untuk hidup,
sebelum ia memperoleh pekerjaan. Bekerja sebagai apa dan dimana, itulah
pertanyaan yang selalu terbesit dalam batin Soebardjo. Akhirnya pada bulan
September 1935, ia berangkat ke Jepang bersama dengan keluarga kakaknya yang
mengantar dua putrinya Herawati dan Saptarita untuk bersekolah di Jepang. Tiba
di Tokyo Ia terkesan atas kemajuan Jepang, gedung-gedung pencakar langit telah
berdiri dengan megahnya. Dengan perantaraan Mr. Soedjono, Soebardjo
diperkenalkan dengan para cendekiawan Jepang. Melalui ceramah-ceramah umrah di
Nihon Bunka Renmei dan Society for International Cultural Relations dia
memperoleh penghasilan. Ada yang lebih mengesankan, sejumlah cendekiawan Jepang
mampu berbahasa Belanda, Inggris, Jerman secara baik. Koleksi perpustakaannya
sangat lengkap, hampir semua buku dan artikel tentang Hindia Belanda tersedia
dalam koleksi.
Penelitian tentang Hindia-Belanda rupanya sangat
intensif bahkan sampai nama-nama Kepala Distrik, hal ini diketahuinya tatkala
tentara Jepang baru memasuki Indonesia. Pemikiran dan konsep-konsep tradisi
digali dan dikembangkan. Sikap anti barat orang Jepang sangat kuat. Japanese
Society of Cultural Relations menjadi perantara untuk mengundang sejumlah
orang-orang penting Hindia-Belanda seperti Dr. Soetomo, Soekardjo Wirjopranoto,
Pangeran Suyono Hendraningrat dan beberapa tokoh lagi. Setelah satu tahun
tinggal di Jepang sejak bulan September 1935, pada Bulan September 1936 kembali
ke Tanah Air Soebardjo memilih Kota Bandung sebagai tempat tinggalnya yang
baru, bekerja secara penuh sebagai pengacara, meninggalkan semua kegiatan
Politik, namun ia masih merasa tidak lepas dari pengawasan P.I.D. mengingat ia
pernah tinggal setahun di Jepang. Pada pertengahan tahun 30-an ini hubungan
Jepang Hindia-Belanda bertambah memburuk. Peristiwa berulang Soebardjo
mengajukan protes kepada asisten Residen. Para polisi penyelidik ini dianggap
menghalangi seseorang mencari kehidupan, asisten residen minta maaf selama satu
tahun di Bandung Soebardjo telah mempunyai penghasilan yang stabil.
Kegemarannya menulis bangkit kembali ia bertemu dengan wartawan senior yang
berhaluan sosialis Mr. D. M. G. Koch, selain wartawan ia juga penulis buku Om
de Vujhed (Menuju Kemerdekaan). Buku ini berisi tentang sejarah perjuangan
pergerakan Nasional Bangsa Indonesia. Hubungannya dengan Mr. D.M.G. Koch mengantarkan
Soebardjo untuk menulis kembali sejumlah artikel dalam Kritiek en Opbouw
(Kritik dan Pembangunan). Setelah tiga tahun tinggal di Bandung Soebardjo
meninggalkan pekerjaan sebagai Pengacara, bekerja pada ”Radio Ketimuran”,
sebagai penyusun program (Progammer) masalah-masalah sosial-kebudayaan
disamping tugas pokoknya Soebardjo kembali melakukan aktivitas jurnalistik.
Situasi politik menjadi tidak kondusif. Perang telah pecah di Eropa, negeri
Belanda diduduki oleh Jerman pada bulan Mei 1940, Ratu dan Pemerintah Belanda
mengungsi ke London, pada saat itu Soebardjo masih bekerja di Radio Ketimuran,
salah satu seksi dari Nederlandsch Indische Radio Omraf Maatschappij (NIROM).
Pemerintah Hindia Belanda membentuk kesatuan pertahanan udara atau Lucht Bescherminof
Drenst, untuk melindungi kota dari serangan udara.
Rengasdengklok
Pada hari ini pukul 08.00, Soebardjo menerima laporan dari sekretarisnya Embah
Soediro, bahwa Soekarno dan Hatta diculik oleh para pemuda dan tidak tahu
dibawa kemana, menambahkan, setelah para pemuda mengadakan rapat dikantor
Soebardjo dan Wikana ada diantara mereka. Soebardjo kaget, peristiwa ini
dinilai gawat, karena pada pukul 10.00 akan diselenggarakan rapat PPKI. Tanpa
ketua dan wakil ketua tidak mungkin rapat terselenggara. Ia menduga bahwa
Wikana mengetahui keberadaan Soekarno-Hatta. Soebardjo berpikir lebih jauh,
bahwa ia harus menghubungi pimpinan Angkatan Laut Jepang dalam usaha pencarian
Soekarno dan Hatta. Soebardjo khawatir kedua pemimpin ini ditangkap oleh angkatan
darat. Hanya angkatan laut yang bisa menolong membebaskannya. Kemudian seorang
anggota stafnya Soediro memberi tahu angkatan laut. Nishijima menerima laporan
Soediro. Soebardjo sendiri kemudian datang secara pribadi kepada Laksamana
Maeda, belum sempat terucap salam Maeda mendahului bertanya, “Kenapa tuan
datang sendiri dan tidak dengan tuan Soekarno dan Hatta? Saya berjanji kepada
tuan-tuan kemarin untuk menyampaikan bentuk resmi tentang penyerahan kami!,
Soebardjo menjawab ”kami datang untuk memberi tahu tuan, tutup halangannya
mereka dari kota” Maeda terkejut, tidak berkata apa-apa lalu termenung!.
Dari rumah Maeda, Soebardjo bergegas menuju kantornya di Jalan Prapatan. Kantor
Daisanka memang tempat yang aman bagi rapat-rapat yang membahas masalah-masalah
sosial maupun aktivitas politik. Soebardjo kemudian memerintahkan
sekretarisnya, agar memanggil Wikana, terjadi dialog, “Apa yang telah kamu
perbuat terhadap Soekarno dan hatta?” Tanya Soebardjo. “Itu keputusan kami
dalam pertemuan semalam untuk keselamatan mereka. Mereka kami bawa ke suatu
tempat di luar Jakarta” jawab Wikana. Apakah akibat dari tindakan tersebut
sudah kamu putuskan? Tanya Soebardjo. ”Keputusan itu bukan keputusan pribadi
saya, tetapi merupakan keputusan semua golongan pemuda, tugas saya membujuk
Soekarno untuk memproklamasikan kemerdekaan pada malam kemarin.” Jawab Wikana.
Soebardjo menasehati Wikana agar tidak merahasiakan keberadaan Soekarno-Hatta.
Wikana tidak menjawab, kemudian pergi. Ia kembali bersama Pandu Kartawiguna,
maksudnya untuk menegaskan pendiriannya, menolak memberitahu dimana
Soekarno-Hatta disembunyikan. Jawaban Pandu kepada Soebardjo tidak berbeda
kepada Wikana. Sekali lagi Soebardjo menasehati Pandu, bahwa proklamasi
Kemerdekaan harus dilakukan dengan damai, yang akibatnya merugikan perjuangan
kita. Wikana dan Pandu keluar dari ruangan Soebardjo. Pada sekitar pukul 14.30,
Nishijima, Shigetada datang dan rupanya sudah berbicara dengan Wikana, bahwa
Angkatan Laut akan mendukung Proklamasi Kemerdekaan.
Beberapa saat kemudian Wikana, Pandu, dan seorang anggota Tentara Peta, Jusuf
Kunto datang meyakinkan Soebardjo bahwa tindakan itu bermaksud menyelamatkan
Soekarno dan Hatta. Soebardjo menyatakan kepada mereka, “Jika atas dasar
keselamatan saudara membawa Soekarno dan Hatta keluar kota, saudara tidak usah
khawatir keselamatan mereka jika mereka kembali ke sini. Karena saya percaya
bahwa Angkatan Laut akan memberikan dukungan andaikata mereka mendapat
kesulitan dari Angkatan Darat. Tolonglah beritahu saya, dimana mereka berdua
disembunyikan. Saya akan mengantarkan mereka kembali ke Jakarta, sehingga dapat
memulai Proklamasi Kemerdekaan. Saya sepenuhnya bertanggung jawab atas usaha
ini. Pandu kemudian menyatakan bahwa Soebardjo tidak bisa pergi sendiri karena
terlalu berbahaya dan melarang menemui Soekarno-Hatta tanpa ditemani orang yang
mereka kenal. Jusuf Kunto yang ditunjuk untuk menemui Soebardjo. Sementara
Nishijima yang berada diluar ruangan mengkhawatirkan keselamatan Soebardjo. Ia
menawarkan diri untuk mendampingi Soebardjo, namun ditolaknya secara halus.
Pada kira-kira pukul 16.00, dengan mobil Skoda Soebardjo, Jusuf Kunto, Soediro
kearah Jatinegara terus kearah Timur. Sepanjang perjalanan mereka diam,
berhenti dibeberapa pos yang dijaga oleh Tentara PETA. Tiba di pinggiran Kota
Karawang, Kunto memerintahkan pengemudi membelok kearah Rengasdengklok, Kota
Kawedanan di Pantai Utara. Tiba pada waktu Maghrib, istirahat dirumah Wedana.
Jusuf Kunto mohon diri meninggalkan Soebardjo, melapor kepada Soekarni. Dengan
mengenakan seragam PETA, Soekarni datang menemui Soebardjo. Terjadi dialog
singkat, Soekarni menyatakan bahwa tindakan yang dilakukan bukan prakarsa
pribadi tetapi memenuhi tugas revolusi. Soebardjo dan Soedira mengikuti
Soekarni dan Kunto dihadapkan Komandan PETA Rengasdengklok, Cundonco Subeno.
Untuk meyakinkan niat dan itikad kedatangan Soebardjo ke Rengasdengklok bukan
untuk kepentingan Jepang. Soebardjo di interogasi dengan sejumlah pertanyaan.
Pertanyaan pertamanya adalah apa maksud kedatangannya di Rengasdengklok.
Beberapa pertanyaan mendasar yang diingat Soebardjo antara lain: “Bisakah
saudara mengatakan kepada kami Bahwa Jepang sudah menyerah? Apakah saudara
datang atas nama Kaigan? Apakah saudara bisa memproklamasikan kemerdekaan
sebelum tengah malam? Untuk meyakinkan Komandan, Soebardjo menjaminkan dirinya
untuk siap ditembak. Seusai acara interogasi ini Soebardjo diantar ke sebuah
rumah dipertemukan dengan Soekarno. Hatta disembunyikan di tempat lain. Tatkala
melihat Soebardjo, Soekarno terperanjat langsung bertanya apakah Jepang sudah
menyerah? Soebardjo memberitahu bahwa ia mendapat informasi penting ini dari
Laksamana Maeda. Kemudian diputuskan untuk segera kembali di Jakarta. Dengan
tiga buah mobil mereka meninggalkan Rengasdengklok kembali ke Jakarta pada pukul
21.00. Perjalanan kembali ke Jakarta dipenuhi rasa was-was, khawatir disergap
oleh tentara Jepang. Tiba dirumah Soekarno pada pukul 21.00 dilanjutkan ke
rumah Hatta. Sesudah istirahat beberapa saat, Soekarno, Hatta dan Soebardjo
tiba di rumah Maeda. Setelah bertegur sapa sebentar, Soekarno menyampaikan
terima kasih atas penerimaannya dan kesediaan rumahnya sebagai tempat
pertemuan.
Mempersiapkan Proklamasi
Di rumah Maeda ternyata sudah banyak orang berkumpul sebelum rombongan dari
Rengasdengklok memasuki rumah ini. Soekarno dan Hatta bersama Maeda
meninggalkan rumah. Tidak lama kemudian muncul Dr. Buntaran Martoatmodjo,
sayuti Melik dan Iwa Kusuma Sumantri. Sukarni bersama rombongannya tiba kembali
di rumah Maeda pada pukul 01.00. Ia mengajak Soebardjo dan Iwa Kusuma Sumantri
untuk menemui Sjarir di sebuah rumah di Jalan Bogor Lama (Jl. Minangkabau).
Ternyata Sjahrir tidak ada di tempat. Soebardjo bertemu dengan beberapa Pemuda,
Chairul Soleh, Adam Malik, Pandu Kartawiguna, Maruto Nitimihardjo. Karena tidak
ketemu, mereka bertiga kembali ke rumah Maeda. Soekarno, Hatta, dan Maeda belum
kembali kerumah, beberapa orang anggota PPKI telah hadir. Pada kurang lebih
pukul 02.00, Soekarno, Hatta dan Maeda tiba kembali bersama Kolonel Miyoshi,
Perwira penghubung Angkatan Darat yang mantan Diplomat, kemudian mereka
berunding. Soekarno, Hatta, Miyoshi, Soebardjo, Maeda, Nishijima menghadap meja
bundar, di belakangnya duduk Soediro, Soekarni, dan B.M. Diah, baru kemudian
Soebardjo memperoleh informasi dari Hatta bahwa mereka datang ke Gunseikon
(Kepala Pemerintah Jepang) Mayor Jenderal Yamamoto Moichiro, dan Mayor Jenderal
Nishimura, Otoshi, samubuco (Kepala Bagian Pemerintahan Umum) tanpa hasil.
Nishimura berpegang teguh pada prinsip status quo. Tidak ada boleh kegiatan
politik sesudah tanggal 15 Agustus 1945.
Dari pertemuan meja bundar di rumah Maeda ini diputuskan bahwa proklamasi
kemerdekaan akan tetap dilaksanakan tanpa persetujuan Angkatan Darat Jepang.
Kemudian Maeda, Nishijima, dan Miyoshi tempat. Ketika Soekarno, Hatta,
Soebardjo akan menyusun redaksi (teks) Proklamasi, “Masih ingatkah saudara teks
dari bab Pembukaan UUD kita?” Tanya Soekarno kepada Soebardjo. “Ya, saya ingat
tetapi tidak lengkap.” Jawab Soebardjo. “Tidak apa, kita hanya memerlukan
kalimat-kalimat yang menyangkut Proklamasi, bukan seluruh teksnya.” Kata
Soekarno. Soekarno mengambil secarik kertas, menulis sesuai dengan yang saya
(Soebardjo) ucapkan. “Kami rakyat Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan”.
Soekarno kemudian menambahkan :”Hal-hal yang mengenai pemindahan dan lain-lain
akan diselenggarakan dengan cara yang secermat-cermatnya serta dalam tempo yang
sesingkat-singkatnya. Menurut Soebardjo inilah teks awal, rupanya Soekarno
tidak menuliskan rakyat, tetapi Bangsa. Mula-mula Soekarni yang diminta untuk
mengetiknya, Ia kemudian pergi ke dekat Dapur. Sayuti Melik dan beberapa orang
lain sedang duduk-duduk. Dia diminta oleh Soekarni untuk mengetiknya yang
kebetulan di ruangan itu ada sebuah mesin ketik. Seusai diketik teks ketikan
diserahkan kepada Soekarni selanjutnya diserahkan kepada Soebardjo, Kemudian
diterima oleh Soekarno. Seusai pengetikan teks para hadirin yang terdiri atas
anggota PPKI dan pemuda menuju ke ruang besar, bagian depan antara lain Dr.
Radjiman, Prof. Supomo, Dr. Ratulangi, Mr. Latuharhary, Dr. Buntaran, Iwa
Kusuma Sumantri. Di antara para pemuda, B.M. Diah, Adam Malik, Mando
Nitimhardjo, Pandu Kartawiguna. Soekarno didampingi oleh Hatta membacakan Teks
Proklamasi. Soekarni yang telah membaca sebelumnya mengkritik sebagai teks
lepas dari semangat revolusioner, lemah, tidak mempunyai kepercayaan diri, ia
tidak setuju dengan kalimat kedua, karena ia tidak percaya bahwa Jepang akan
menyerahkan kekuasaannya kepada kita dengan cara sukarela kita harus merebutnya
dari tangan mereka, terjadi perdebatan setelah penilaian Soekarni. Para anggota
PPKI menentang perubahan teks. Soekarno menawarkan siapa yang membubuhkan
tandatangannya pada teks, mereka sepakat yang menandatangani teks Soekano dan
Hatta, diusulkan dibacakan di lapangan Ikada. Soekarno menolak pembacaan teks
Proklamasi akan dilakukan di rumahnya Jl. Pegangsaan Timur No. 56 pada pukul
10.00. Subardjo merasa bahwa tugasnya telah selesai, setelah saling bersalaman
mereka meninggalkan rumah Maeda pada kira-kira pukul 06.00. pada pagihari itu
menjelang pukul 10.00 dua utusan Soekarno datang menjemput, karena terlalu
capek Soebardjo memutuskan untuk melanjutkan istirahatnya, setelah dua hari
diliputi suasana tegang. Ia tidak hadir dalam upacara tatkala Soekarno yang
didampingi Hatta mengucapkan Proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia 17 Agustus
1945.
Menjadi Menteri Luar Negeri
Hari-hari sesudah Proklamasi diliputi kesibukkan yang luar biasa pada tanggal
18 Agustus 1945, para anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia berkumpul
di Pejombon, mereka mewakili rakyat Indonesia mengesahkan Undang-undang yang
telah diselesaikan oleh Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan, memilih
Soekarno sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden. Pada hari
berikutnya PPKI bersidang kembali, Presiden Soekarno menunjuk Soebardjo sebagai
ketua panitia kecil, yang beranggota 2 (dua) orang Soebardjo Kartohadikusumo,
Alex Andries Maramis . Tugas panitia kecil adalah merumuskan organisasi
pemerintah pusat. Hasil rumusan itu panitia kecil menyampaikan saran agar
pemerintah pusat dibagi atas 10 Departemen, setelah dibahas pada sidang Pleno
diterima oleh Presiden. Soebardjo pada sidang itu mengusulkan tambahan enam
orang Menteri Negara, berhubung Negara dalam situasi Revolusioner. Tugas
Menteri Negara bersifat khusus, dapat bergerak cepat apabila ada situasi
darurat, mereka dapat diutus oleh pemerintah pusat ke daerah-daerah, usul ini diterima
oleh presiden, namun yang diangkat hanya lima orang, setelah sidang presiden
membentuk kabinet. Pemerintah RI yang pertama ini terdiri atas 18 Menteri, 13
Menteri pemimpin departemen dan 5 Menteri Negara. Soebardjo ditunjuk sebagai
Menteri Luar Negeri. Tugas pertama Menteri Luar Negeri adalah membangun
kementerian, karena sebelumnya tidak ada seorang Indonesia pun pernah bekerja
di Kementerian ini. Gedung Kementerian harus dicari, rumah tempat tinggal
pribadi keluarga Soebardjo dijadikan Kantor Kementerian, tidak ada pilihan
lain. Selanjutnya adalah merumuskan dasar-dasar politik luar negeri suatu
negara yang merdeka dan berdaulat. Soebardjo mengantisipasi akan hadirnya
tentara sekutu di Indonesia. Oleh karena itu baik presiden, wakil presiden, dan
menteri luar negeri terus menerus berkampanye bahwa Republik Indonesia adalah
Negara demokrasi dan mentaati semua hukum hubungan Internasional. Atlantic
Charter, Diagram PBB diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia disebarkan ke
seluruh jajaran pemerintah. Tujuan utama adalah bagaimana lahirnya dan
eksistensi Negara Republik Indonesia diakui kedaulatannya oleh dunia
Internasional. Kedaulatan pemerintah Hindia-Belanda sudah berakhir sejak bulan
Maret 1942 dan pemerintah militer Jepang berakhir pada tanggal 15 Agustus 1945.
Di samping pengakuan kedaulatan negara Republik Indonesia, Bangsa Indonesia
telah bertekad mempertahankan Kemerdekaan dan Kehormatannya dengan cara apapun.
Tekad bangsa ini berhasil, tatkala tentara sekutu akan masuk ke Indonesia untuk
melaksanakan tugasnya berdasarkan protokol Dotsdam, terlebih dulu mengakui
secara de facto Negara Republik Indonesia dan memberitahu Kementerian Luar
Negeri rencana kedatangannya. Peristiwa bias dianggap sebagai sukses pertama
dari kampanye Kementerian Luar Negeri.
Wafat
Ahmad Subardjo Djoyoadisuryo meninggal dunia dalam
usia 82 tahun di Rumah Sakit Pertamina, Kebayoran Baru, akibat flu yang
menimbulkan komplikasi. Ia dimakamkan di rumah peristirahatnya di Cipayung,
Bogor. Pemerintah mengangkat almarhum sebagai Pahlawan Nasional pada
tahun 2009.
No comments:
Post a Comment